Home ยป 7 Kelemahan Usaha Thai Tea: Ketika Tren Minuman Begitu Cepat

7 Kelemahan Usaha Thai Tea: Ketika Tren Minuman Begitu Cepat

Bisnis Thai Tea pernah jadi primadona. Tapi seperti semua tren minuman kekinian, yang naik bisa turun, yang hits bisa tiba-tiba sepi. Nah, sebelum kamu terjun ke bisnis ini, yuk bahas dulu apa aja kelemahan usaha Thai Tea, terutama di era tren yang serba cepat ini.

🔍 Rangkaian Kelemahan Usaha Thai Tea

⚠️ 1. Tren Minuman Kekinian Cepat Banget Berubah

Di 2017–2019, Thai Tea booming. Booth ada di mana-mana. Tapi sekarang? Digantikan sama kopi susu gula aren, es teh jumbo, boba brown sugar, sampai susu jelly warna-warni.

Minuman kayak Thai Tea itu sangat trend-sensitive. Sekali tren bergeser, konsumen ikut pindah. Dan kalau kamu nggak punya daya tarik lain selain “Thai Tea-nya enak”, bisnismu bisa ikut tenggelam.

Solusinya: Jangan jual produk doang, tapi jual experience. Misalnya dengan kemasan unik, gimmick menarik, atau konsep “minuman nostalgia ala Thailand” yang lebih kuat branding-nya.


💸 2. Persaingan Super Ketat & Mudah Ditiru

Bikin Thai Tea itu gampang. Bahkan banyak tutorialnya di YouTube. Artinya? Kompetitor bisa muncul di mana aja. Modal 3–5 juta udah bisa buka booth kecil.

Ini bikin pasar jenuh, harga banting-bantingan, dan kamu susah buat naikkan margin keuntungan.

Solusinya: Punya signature taste, kemasan premium, atau paket bundling makanan bisa jadi pembeda. Jangan cuma jualan rasa, tapi juga identitas.


⏳ 3. Repeat Order Nggak Sebesar Kopi atau Teh Original

Kalau kopi bisa diminum tiap hari, Thai Tea enggak. Rasa manis dan creamy bikin orang cepat enek kalau dikonsumsi sering-sering.

Ini bikin customer nggak loyal. Mereka beli kalau lagi pengen doang.

Solusinya: Tawarkan varian minuman tambahan seperti green tea, milk tea low sugar, atau menu musiman biar mereka balik lagi.


📉 4. Margin Tipis Kalau Nggak Dikelola Baik

Banyak orang kira Thai Tea itu margin-nya gede karena cuma teh, susu, dan gula. Tapi… kenyataannya, begitu masuk biaya:

  • Booth
  • Karyawan
  • Franchise fee (kalau ikut merek)
  • Kemasan
  • Bahan premium (krimer, topping, teh impor)

Untung bersih per gelas bisa cuma Rp3.000–Rp5.000. Dan itu bisa lebih kecil kalau harus banting harga buat bersaing.

Solusinya: Kendalikan biaya tetap, negosiasi bahan baku langsung ke supplier, dan usahakan produksi sendiri kalau memungkinkan.


🔗 Baca Juga: Ide Jualan Makanan Online yang Laku Keras (Jarak Dekat & Jarak Jauh)

🧊 5. Ketergantungan Bahan Impor & Rasa Asli

Beberapa racikan Thai Tea butuh bahan khusus dari Thailand atau pewarna makanan tertentu biar warnanya khas. Kalau suplai bahan terganggu (misalnya karena impor lambat), rasa bisa beda, dan pelanggan kecewa.

Sekali rasa berubah, orang bisa langsung ilfeel.

Solusinya: Bangun sistem stok buffer dan punya backup supplier. Edukasi konsumen juga soal bahan lokal dengan kualitas sebanding.


🪑 6. Model Booth & Grab-and-Go Mulai Kurang Menarik

Dulu, booth Thai Tea yang lucu-lucu itu jadi magnet. Tapi sekarang, orang lebih senang nongkrong di tempat estetik atau pesan lewat online.

Model usaha booth kecil di mall atau pinggir jalan mulai kalah pamor kalau nggak punya inovasi.

Solusinya: Integrasikan dengan cafe kecil, titip jualan di resto, atau gabung dengan layanan langganan mingguan (subscription drink).


🙄 7. Konsumen Cepat Bosan dan Gampang Pindah ke Tren Baru

Di era sekarang, konsumen—terutama Gen Z dan milenial—itu punya pola konsumsi yang sangat FOMO (Fear of Missing Out). Mereka senang coba hal baru, cepat bosan, dan mudah tertarik sama apa yang lagi viral di TikTok atau Instagram.

Minuman yang hari ini hits, bisa jadi besok sudah dilupakan karena muncul “kopi susu dengan jelly glow in the dark” atau “matcha jelly sakura dari Jepang”.

Thai Tea, yang dulunya terkesan eksotis dan fresh, sekarang udah jadi “biasa aja” di mata konsumen. Apalagi kalau tidak ada varian baru, rasa spesial, atau konsep promosi yang bikin penasaran.

Efeknya?

  • Penjualan bisa stagnan bahkan turun drastis.
  • Loyalitas hampir nggak ada kalau brand kamu nggak punya ciri khas atau inovasi.

Solusinya:

  • Rutin bikin varian musiman (contoh: Thai Tea Kurma di bulan puasa, Thai Tea Mangga di musim panas).
  • Bangun interaksi seru lewat media sosial: polling rasa baru, kontes review, atau tantangan video.
  • Tambahkan elemen storytelling atau lokal pride, misalnya “Thai Tea lokal dengan sentuhan rempah Indonesia”.

🧾 8. Menu Thai Tea Mudah Ditiru dan Banyak Dijual di Marketplace

Salah satu tantangan besar lainnya adalah mudahnya meniru produk Thai Tea. Saat ini, tidak hanya kompetitor lokal atau booth sebelah yang jual Thai Tea, tapi juga:

  • Toko online yang jual bubuk Thai Tea instan
  • Paket bisnis Thai Tea siap jual di e-commerce
  • Reseller yang jual versi DIY (do-it-yourself) di marketplace

Artinya? Thai Tea bukan lagi produk eksklusif. Konsumen bisa dengan mudah bikin sendiri di rumah dengan rasa yang mirip, bahkan dengan harga yang jauh lebih murah.

Ini bikin nilai jual di gerai offline jadi tergerus. Kalau kamu hanya mengandalkan resep standar tanpa diferensiasi, konsumen bisa saja berpikir, “Ngapain beli di luar, kalau bisa bikin sendiri dengan Rp5.000 di rumah?”

Solusinya:

  • Bangun keunikan rasa dan tampilan yang nggak bisa disamai produk instan
  • Sertakan cerita brand atau pengalaman minum yang khas
  • Jangan cuma jual Thai Tea, tapi juga jual suasana, vibe, atau keunggulan lain seperti pelayanan cepat, kemasan lucu, atau topping spesial

🔗 Baca Juga: Usaha Keripik Tempe: Kamu Tim Lauk atau Tim Cemilan? Ini Bedanya!

🥤 Pesaing Thai Tea di Pasar Minuman Kekinian

Thai Tea pernah jadi raja di kategori minuman kekinian. Tapi sekarang, takhta itu udah nggak lagi eksklusif. Ada banyak pesaing serius di pasar, yang lebih relate sama selera konsumen zaman sekarang: lebih murah, lebih segar, atau lebih viral.

🧊 1. Es Teh Jumbo / Teh Premium Literan

Minuman teh yang murah, seger, dan porsinya banyak jadi pilihan utama masyarakat saat cuaca panas. Brand seperti Teh Poci, Es Teh Indonesia, dan varian teh manis kekinian lainnya naik daun karena:

  • Harga mulai dari Rp5.000-an
  • Ukuran jumbo (500ml sampai 1 liter)
  • Bisa dinikmati setiap hari tanpa enek

Ini jadi ancaman nyata buat Thai Tea yang cenderung creamy dan manis berlebih, apalagi saat tren less sugar lifestyle makin naik.

☕ 2. Kopi Susu Gula Aren

Kopi kekinian udah jadi bagian dari gaya hidup. Dari warkop sampai artisan cafe, semua jual kopi. Brand-brand seperti Kopi Kenangan dan Janji Jiwa sukses bikin kopi susu gula aren jadi mainstream. Konsumen lebih mudah ketagihan karena:

  • Bisa diminum setiap hari
  • Efek kafein bikin nagih
  • Branding-nya kuat dan identitasnya jelas

🧋 3. Minuman Boba dan Jelly Colorful

Anak muda sekarang suka yang visual appealing. Boba brown sugar, minuman jelly warna-warni, sampai susu dengan topping estetik jadi pilihan populer buat konten sosial media.

Thai Tea kalah di sisi visual kalau nggak di-twist atau dikombinasikan dengan topping kekinian.

🔗 Baca Juga: 20+ Ide Jualan Makanan yang Laris di Kampung: Cocok Rasa, Cocok Harga, Langganan Terus

🍋 4. Minuman Herbal dan Sehat

Tren hidup sehat naik daun. Minuman infused water, cold-pressed juice, bahkan es jeruk peras jadi lebih dipilih karena segar dan menyehatkan. Thai Tea yang creamy dan tinggi gula perlu adaptasi kalau mau bertahan di tengah tren ini.

🍹 5. Gerai Minuman All-Varian: Satu Tempat, Banyak Pilihan

Salah satu pesaing paling berat buat bisnis Thai Tea adalah brand yang jual banyak jenis minuman dalam satu gerai. Misalnya:

  • Teh kekinian (es teh jumbo, teh susu, teh tarik)
  • Kopi (kopi susu, americano, kopi karamel)
  • Minuman segar (jeruk peras, leci soda, yakult series)
  • Dan… Thai Tea juga masuk di dalamnya

Brand seperti Street Boba, Haus!, Xi Bo Ba, dan Kulo menawarkan banyak pilihan dalam satu menu. Thai Tea hanya jadi salah satu opsi, bukan andalan utama. Tapi karena variasi banyak, orang lebih tertarik mampir.

Konsumen zaman sekarang cenderung beli di tempat yang bisa kasih mereka lebih banyak opsi dalam satu pesanan, apalagi kalau beli bareng teman yang seleranya beda-beda.

Efeknya buat bisnis Thai Tea yang fokus satu jenis menu?

  • Risiko ditinggalkan karena dianggap monoton
  • Susah bersaing dari sisi value for money (nggak bisa bundling menu lain)
  • Thai Tea jadi “satu rasa dari banyak” yang bisa dibeli di tempat lain

Cara Menghadapi Kompetitor Multi-Varian:

  • Diversifikasi menu secara selektif: Tambahkan 2–3 varian populer seperti Thai Green Tea, Kopi Susu, atau Teh Lemon tanpa keluar dari konsep utama.
  • Paket hemat atau mix menu: Misalnya bundling Thai Tea + snack mini (roti bakar, ayam pop corn, pisang krispi).
  • Perkuat positioning: Jadikan brand kamu sebagai spesialis “Minuman Thailand Asli” dengan visual dan storytelling khas.

Jangan bersaing di jumlah menu, tapi menang di keunikan pengalaman yang nggak bisa mereka duplikat.


🚧 Kesimpulan: Bisnis Thai Tea Masih Bisa, Tapi Nggak Bisa Biasa

Kelemahan Thai Tea bukan berarti usahanya jelek, tapi perlu strategi ekstra buat bisa bertahan di tengah tren yang cepat berubah. Kalau kamu cuma ikut tren doang, kamu juga akan tenggelam bareng tren itu.

Tapi kalau kamu punya:

  • Ciri khas rasa
  • Konsep visual yang unik
  • Cara jualan yang relevan sama zaman (go digital, sistem langganan, kerjasama event)

Usaha Thai Tea kamu bisa naik kelas — bukan cuma jadi pelengkap tren, tapi jadi bagian dari gaya hidup.

Q: Kenapa bisnis Thai Tea mulai ditinggalkan?
A: Karena tren minuman kekinian sangat cepat berubah. Thai Tea yang dulu populer, sekarang mulai kalah saing dengan es teh jumbo, kopi susu, boba, dan minuman sehat. Kalau tidak diiringi inovasi dan branding yang kuat, usaha Thai Tea bisa cepat kehilangan daya tarik.

Q: Apakah Thai Tea masih bisa menghasilkan keuntungan?
A: Masih bisa, asalkan dikelola dengan strategi yang tepat. Pelaku usaha perlu punya keunikan rasa, tampilan menarik, dan pendekatan pemasaran yang segar. Jika hanya jualan Thai Tea standar tanpa diferensiasi, marginnya akan tipis dan rawan bersaing harga.

Q: Apa kelemahan utama bisnis Thai Tea dibandingkan pesaingnya?
A: Salah satunya adalah Thai Tea tidak bisa dikonsumsi setiap hari karena rasanya cenderung manis dan creamy. Selain itu, produknya sangat mudah ditiru dan banyak dijual di marketplace dalam bentuk instan atau paket usaha siap jual.

Q: Bagaimana cara mengatasi kebosanan konsumen terhadap Thai Tea?
A: Hadirkan varian rasa musiman, kemasan yang menarik, dan promosi interaktif di media sosial. Kamu juga bisa menambahkan elemen lokal atau cerita menarik untuk menciptakan koneksi emosional dengan konsumen.

Q: Apakah menjual Thai Tea lewat booth kecil masih relevan?
A: Model booth masih bisa digunakan, tapi perlu di-upgrade agar tetap menarik. Misalnya, booth dengan desain unik, sistem pre-order online, atau kolaborasi dengan snack lokal untuk meningkatkan nilai jual.

Drajad DK - Penulis Bisniz.id
โœ๏ธ Drajad DK
Penulis sekaligus pelaku usaha mandiri di industri kreatif sejak 2013, dengan pengalaman di bidang konveksi, digital printing, franchise kuliner, serta strategi pemasaran berbasis SEO dan SEM.
๐Ÿ”— Lihat Profil Lengkap